Daily Journal: Stay At Home dan Makan di Rumah




Sudah sampai mana? Ya, sudah terlalu lama di dalam rumah. Semenjak wabah Covid-19 masuk ke Indonesia, semua harus melakukan aktivitas di dalam rumah. Suamiku, yang keseharian melakukan office hour terpaksa harus mengerjakan semuanya di rumah, Work From Home (WFH). Disela kegabutan menjadi penghuni rumah dengan ruang gerak yang sangat terbatas, dapur menjadi tempat favorit untuk berkarya. Lagi-lagi makan, makan dan makan. Sampai ku bilang, bisa-bisa kewarasanku hilang karena seperempat hariku, di dapur lagi dan dapur lagi.

Pelaku WFH selalu minta menu tambahan dari jadwal yang sudah disediakan si empu dapur. Disela makan siang minta cemilan, gorengan, pure, jus atau sebangsa lain yang membuat fungsi gigi dan kerongkongan basah. Lain hari, aku ingin waras. Gak masak. Aku uda minta izin dari malem, izin ga matuhin jadwal menu (biasanya ku bikin list menu setiap minggu, biar mudah dan irit juga). Siang itu, ada kurir yang datang. Membawa serta kiriman menu makan siang. Ada kentang mustofa, babat mercon dan paru melet. Tidak lupa di kantong berbeda ada sei sapi dan dendeng gurih yang ga tau apa namanya.

Pertama, aku buka toples berisi mustofa. Kripik kentang yang kriuk dengan bumbu 'lekoh' (apa ya bahasa yg bisa menerjemahkan lekoh.) begitulah. Salah satu basic dalam memasak, bumbu merah yang dicampur ke dalam kentang yang sudah diserut panjang. Gak gampang bikinnya. Kalau ga ahli ahli banget jadinya bisa 'ayep' alias ga kriuk. Atau warnanya ga muncul, malah agak coklat seperti 'mengkramelisasi' (semoga bahasanya bener). Tapi yang ini beda, kriuknya masih krezz, gemes banget kaya baru jadian. Terus bumbunya meresap dan ga bikin warnanya jadi coklat. Satu lagi, pas dicampur nasi panas, gak kering, masih ada minyak yang cukup lekat dan berlumur bumbu, duh enak.

Baik, uda cukup nanti si mustofa naik lagi derajatnya. Beralih ke paru melet, ga salah sih temen aku bikin brand laper banget. Emang bikin laper terus. Rasa rempah yang bercampur dengan cabai rawit bikin khilaf. Rasa pedes emang bikin nafsu makan meningkat, tapi pedesnya gak misah, kalau dibilang jodoh emang semua bumbunya berjodoh, bertemu diwaktu yang pas. Meskipun rasa pedes dominan tapi ga misah dengan rempah lainnya. Parunya juga ga alot, ga amis. Lagi-lagi ku bilang ini enak.



Ketiga, babat. Aku agak lebih subjektif sama babat karena aku penggemar babat. Aku suka babat yg ga keras tp gak alot juga, bau khasnya hilang. Ini nih yang susah. Tapi alhasil lagi-lagi babat mercon ini berhasil jadi favorit. Ku suka. Asli.

Gak salah ya kalau WFH emang bikin naik BB. Kalau ga ada bahan, tinggal order. BM ku hari ini juga, terlintas sei sapi yang ada di sekitar kampus UNPAD di Bandung. Akhirnya, setelah cari info temen lamaku jualan juga di Sumedang, sei sapi. Aroma asapnya bikin kangen, irisan tipis daging yang berlemak bikin nagih. Harganya sesuai dengan porsi yang ku pesen. Pas dikantong untuk memenuhi ke BM anku. Sayangnya, di sini sambalnya ga bisa pilih. Kamu udah bisa nikmatin sambal ciri khasnya, rice bowl sei ini.

Lagi-lagi aku dikasih bonus dendeng yang lumer di mulut. Ini berlemak, ga disarankan buat kamu yang baru gajihan, gajihnya terlalu banyak (apa sih) hehe. Asli ini enak. Waktu ngidam aku pengen dendeng gini, nyari2 tapi ga nemu. Sudah 8 bulan si anak lahir baru nemu, semua memang indah tepat pada waktunya. Haha. Sudah ya. Aku mau makan dulu.

Story & Photo by Atta & Akka.

No comments:

Post a Comment