Daily Journal: Hai Dear!


Hallo,sayang. Tidak ada kata yang bisa aku temukan untuk mengawali tulisan kali ini. Semakin hari waktu kita semakin terbagi, jadwal latihan musik-lah, jadwal siaran-lah. Belum lagi kesibukan di kantor akhir-akhir ini yang membuat kita terpaksa pulang malam.

Seingatku, waktu terakhir kita jalan berdua tanggal 3 Juni. Hari Sabtu. Seharusnya kita berangkat dari pagi tapi entah apa yang membuat kita berangkat menjelang sore. Hingga harus berulang kali terjebak macet. Saat dia menyetir di depanku, sepanjang jalan, dia kenalkan tempat-tempat yang memiliki kenangan semasa kecil.

Bagi aku mendengarkan cerita masa kecilnya adalah lembayung senja, terlukis dari dua sisi warna yang berbeda, sosok dia yang aku kenal pendiam, angkuh dan tidak banyak bicara. Seketika terhapus. Membelah diri, aku berdusta jika sepenuhnya aku sudah mengenalinya. Dia ternyata bisa menjadi juru bicara paling ceria, mengenang masa kecil.

Masa kecil kita. Kini bagian aku yang mengisi jeda cerita. Aku ceritakan ayah yang tak berdasi, ibu yang menghabiskan seperdelapan harinya di dapur dan tangisan adik kehausan susu, begitu saja masa kecilku. Tak sadar aku diperhatikanmu dari sejak tadi, lewat kaca spion kanan, matamu ikut tersenyum mendengar ceritaku.

Sampailah kita di tempat makan, Jalan Riau. Masuk ke tempat makan disambut aura cahaya teduh dan eksotis di sudut ruangan. Lampunya belum nyala semua, remang-remang mirip hutan tropis. Kami memilih duduk di kayu dolken, diantara kayu bahbir di sudut kanan pintu masuk.

Tak lama, kami memesan tenderloin steak saus BBQ dengan french fries, Gorilla punch, dan nasi kambing guling. Kami melanjutkan cerita. Kini tentang usaha yang dirintisnya, saya menjumlah rupiah yang disebutkan dia lalu sesekali kita bertukar pendapat untuk menentukan produksi dan promosinya. 

Tentang kita malam itu, dua orang manusia yang sangat cepat berubah peran. Rengekan manja nostalgia masa kecil, semua ingin yang dipenuhi mereka, besok paginya tak sedikitpun cemas membuka mata. Berubah. Menjauh dari senandung tidur, boneka bersuara dan balon berwarna.

Diam-diam, waktu telah menjauhkan kita dengan mainan yang bisa meredakan tangis, mengalihkan ingin yang belum terpenuhi dan menenangkan cemas di hari esok. Keberadaan mereka terlalu asing untuk aku lalui sendiri, itulah mengapa aku kini bersandar di bahumu, menggenggam tangganmu dan berbagi ingin denganmu. Aku menyadari, aku terlalu takut melaluinya sendiri. Aku ingin mengambil itu, yang berwarna di ujung sana, tapi janji kamu disebelahku, ya? 


Story & Photo by Atta & Akka.

No comments:

Post a Comment