
"Bagaimana cara membuat awalnya?" Telusuk saya ketika dia menyuruh saya bercerita tentang kami kemarin. "Mengawali" membuat saya selalu mengajukan banyak tanya, pantas saya memulainya, bagaimana cara memulainya hingga harus apa yang saya ceritakan. Komposisi yang membuat saya berpikir ulang, bagaimana mengawali. Hingga akhirnya saya memberanikan diri menulis cerita, sama seperti saya dengan dia yang memberanikan diri untuk memulai perjalanan kita, berawal dari pertemanan yang berlanjut menjadi ikatan emosi dan kenyamanan saling berbagi.
Meskipun kesulitan memulai menjadi tantangan bagi kami,awal dalam menjalin hubungan melalui hari, minggu bahkan bulan-bulan awal yang krusial, kami sering 'dicecar' pertanyaan bodoh didalam diri, bagaimana hubungan pertemanan dihadapan sahabat kita, dihadapan rekan kerja bahkan hingga dihadapan orang tua kita?
Terlalu panjang saya ceritakan memulai, ternyata sebenarnya kita tidak mengalami kesulitan.Kita hanya butuh keberanian untuk memulai, keberanian untuk saling mengingatkan kemampuan yang sebenarnya bisa kita lahirkan, menghentikan cara membandingkan dan menepis rasa takut. Sungguh, keraguan yang mendasar yang membuat kami kadang-kadang tak ingin memulai, terlalu nyaman dan melupakan banyak tantangan. Kami ingin melewatinya, sama seperti malam ini yang sudah kami lewati dan akan saya mulai bercerita, tentang kita.
Saya menunggunya, menunggu yang kedua kalinya setelah saya gagal dijemput menemaninya latihan musik siang tadi. Dipunggungnya, memeluk dan sekedar berkeluh laju kendaraan malam ini, berencana makan atau menceritakan kegiatan tadi siang sungguh mengasyikan. Sampai kami bertemu kawan, seorang barista di salah satu cafe di kota kami. Tentu saya akan diajak berpetualang kembali, merasakan aroma dari cairan hitam lalu mendengar mereka berkomentar, saling berbagi cara untuk menemukan rahasia dari rasa.

Malam ini, dia memperkenalkan Cold Brew, kopi yang diekstraksi berjam-jam berasal dari biji yang memiliki karakter kuat. Minuman dingin ini mirip dengan ice coffee. Saya mencium bau rempah yang kuat, seperti merasakan bau cabai kering. Setelah meneguknya justru bau rempahnya hilang, menyisakan rasa pahit bercampur asam di lidah. Ah, saya tidak banyak tau lagi tentang rasanya apalagi harus berkomentar dengan mereka, menambah variasi agar kuat terasa.

Saya memperhatikan lampu yang bergelantung dan jajaran sofa kosong di bagian depan. Gelap, berbatas tembok tak memiliki ruang. Mata saya terusik foto di dinding, dibiaskan cahaya namun tidak dapat makna apa-apa. Pandangan saya mengarah pada taman, air hujan yang baru turun, menyingkap bau tanah, air yang memukul atap, pipa besi sampai jatuh ke tanah. Untuk saya penikmat hujan, ini cara aku merangkai orkestra, damai dan bahagia.

Kami tak mau kalah bahagia, sama seperti kalian yang sedang jatuh cinta. Pacaran, duduk-duduk berdekatan, saling pegang tangan, saling sandar, lenje-lenje di pundaknya lalu saling goda. Pacaran ala cafe, bukan candle light dinner dengan pakaian mewah. Dua orang yang menggunakan kaos dan jaket, itu saja. Bahkan hanya memesan menu sekedar mengisi meja, lalu menggunakan fasilitas wifi, mencari content, sampai akhirnya membuka galeri handphone masing-masing diselingi cerita-cerita. Kami tertawa, saling mencela sampai pura-pura cemburu buta.

Ya, kami tidak jauh beda dengan kalian. Pacaran. Menikmati berkawan lebih dari sekedar teman, saling mengingat perjalanan masing-masing. Kami tidak jauh beda dengan dua pasangan yang sedang jatuh cinta. Memulai perjalanan, memupuk keyakinan dari awal keraguan. Memulai untuk membiasakan bermimpi bersama, bercerita dan menikmati setiap prosesnya. Ya kami memulai, memulai dengan berani. Memperkenalkan dunia-dunia kami, penikmat kopi dan penikmat hujan. Cold Brew dan Pluviophile.
—
Story & Photo by Atta & Akka.
No comments:
Post a Comment